Thursday, April 26, 2018

Soto adalah Salah Satu Jenis Makanan Khas yang tidak Asing Lagi


Wisata Kuliner - Keragaman budaya di Indonesia buat kuliner Tanah Air demikian banyak variasi. Satu jenis kuliner saja dapat miliki beberapa versus di beberapa daerah yang tidak sama. Sebut saja soto. Nyaris setiap daerah di Indonesia miliki versus soto semasing.

Seperti soto ciri khas Jawa Timur yang kebanyakan di beri bubuk koya. Di Betawi, soto biasanya di buat memakai santan. Sedang orang Makassar yang mengatakan soto dengan nama coto, kebanyakan buat sajian ini dengan adanya banyak daging.

Ada kira-kira 70 jenis soto di Indonesia. Meski soto disukai dari komunitas bawah sampai presiden, akan tetapi tidak banyak yang tahu asal-usul kuliner berkuah itu.

Nah, nyatanya awalannya soto yaitu makanan yang identik dengan makanan rakyat, menu kelas bawah serta pantang masuk ke dapur bangsawan semasa penjajahan Belanda.

Soto identik dengan makanan rakyat karna senantiasa memakai jeroan jadi berisi pada saat masa penjajahan Belanda,  tutur Fadly Rahman, sejarawan Kampus Padjajaran Bandung padawaktu didapati beberapa waktu terakhir.

Yaitu Van Der Burg, orang Belanda yang pertama kalinya mengartikan satu masakan yang lalu diakui jadi soto. Dalam buku berjudul Voeding In Netherlandsch Indie pada 1904, Burg menulis orang pribumi Indonesia jadi biasa buat kaldu dengan daging mirip gagak. Dia mengatakan gagak karna tidak sempat memandang babat serta jeroan, makanya ia berasumsi daging itu yaitu burung gagak.

Rahman menyebutkan berdasar pada beragam sumber, soto pertama kalinya di kenal penduduk pada abad ke-19. Masakan ini malah dibawa oleh orang Kanton yang bermigrasi ke Indonesia masa itu serta soto jadi popular di area peranakan Tionghoa di Semarang.

Semula soto juga di jual lewat cara dipikul. Keadaan ini mengikuti penjual di Tiongkok yang menjual dagangannya lewat cara dipikul.

Kaitan erat soto dengan Tionghoa juga tampak dari kata soto. Ada beberapa versus asal kata Soto, diantaranya, chau tu serta cao du. ‘Cao’ bermakna ‘rumput’ yang mengacu pada rempah-rempah hasil sumber daya Nusantara, dan ‘du’ artinya ‘babat’ atau ‘jeroan’ yang menunjukkan organ pada badan hewan.

Menu makan rakyat kecil 


Lelucon yang menyindir kehidupan penduduk peranakan Tionghoa waktu itu yaitu mereka melahap apa sajakah yang berkaki empat terkecuali meja. Soto yang dikenalkan pada penduduk waktu itu diisi babat serta jeroan jadi sisi dari hewan berkaki empat.

Bagi Belanda, babat dan jeroan tidak sehat dan higienis. Mereka mengganggap makanan itu jorok, terangnya.

Hal semacam ini juga terkait dengan mengkonsumsi daging waktu itu. Hanya beberapa bangsawan serta penjajah Belanda yang dapat memakai daging karna harga nya mahal. Sesaat, penduduk Tionghoa serta pribumi berasumsi daging jadi makanan mewah serta menentukan buat konsumsi jeroan.

Soto jadi makanan rakyat juga dapat di buktikan dengan satu tulisan pada jaman yang sama. Saat itu ada satu narasi mengenai perkelahian di pasar serta penjual soto terserang imbasnya. Dagangannya berantakan.

Itu memperlihatkan soto di jual ditempat umum yang dekat dengan rakyat kecil, tuturnya.

Kehadiran soto disadari pertama kalinya pada 1930-an. Menu itu masuk dalam buku masak. Namun, bukanlah soto babat atau jeroan yang terdaftar, tetapi soto ayam. Nyatanya, itu terkait dengan populasi daging sapi yang alami penurunan mencolok di jamannya. Demikian sebaliknya, populasi daging ayam stabil.

Pascakemerdekaan, tuturnya soto makin banyak variasi. Menu ini alami sistem diaspora. Rencana ketidaksamaan ini seragam dengan kebhinekaan di Indonesia.

Soto di Jawa Barat dagingnya sedikit, lagi-lagi ini terkait dengan kurangnya populasi sapi di daerah itu. Tidak sama dengan soto di Makassar yang dagingnya banyak karna populasi sapi melimpah, katanya.

Tagged: , ,

0 comments:

Post a Comment

Wisata Kuliner © 2013 | Powered by Blogger | Blogger Template by DesignCart.org